Perempuan, Kemiskinan, dan Pembangunan Desa
Kemiskinan merupakan akar dari berbagai isu sosial. Kemiskinan menyebabkan seseorang tidak mampu menghidupi dirinya atau keluarganya secara layak, sehingga menimbulkan berbagai masalah sosial, seperti ketidaksetaraan gender, pekerja anak, pernikahan dini, dan buruknya gizi dan kesehatan masyarakat. Oleh karenanya, pengentasan kemiskinan merupakan agenda semua negara yang menginginkan terwujudnya masyarakat sejahtera dan pembangunan berkelanjutan. Indonesia sendiri menargetkan tidak akan ada lagi kemiskinan ekstrim pada tahun 2030, dan lebih dari itu, Indonesia memiliki visi untuk memiliki perekonomian yang tumbuh 5,7% per tahun, sehingga mampu menjadi negara dengan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) terbesar ke-5 pada tahun 2045[1].
Mulai dari desa
Untuk mewujudkan impian ini tidak mungkin mengesampingkan pembangunan wilayah pedesaan. Pasalnya, sekitar 91% dari total wilayah Indonesia adalah wilayah pedesaan. Indonesia memiliki 74.961 desa yang tersebar di 416 kabupaten. Dilansir dari situs Kementerian Desa, sekitar 43% penduduk Indonesia tinggal di desa[2].
Ironisnya, dengan jumlah penduduk yang hampir berimbang, tingkat kemiskinan di pedesaan lebih tinggi daripada di perkotaan. Tahun 2021, kemiskinan ekstrem di Indonesia sudah mencapai 4% dari jumlah penduduk atau sekitar 10,9 juta jiwa[3], dan sebagian besar bertempat tinggal di desa. Badan Pusat Statistik juga mencatat, pada Maret 2022, jumlah penduduk miskin desa sebanyak 14,34 juta jiwa, atau 17,6% lebih tinggi daripada wilayah kota[4].
Data BPS menunjukkan, lebih dari separuh rumah tangga miskin bekerja di sektor pertanian[5], dan sebanyak 46,2 persen dari 40 persen penduduk dengan pendapatan terendah saat ini adalah petani[6]. Secara umum, pendapatan dari pertanian lebih rendah daripada pendapatan pada sektor-sektor lainnya[7], dan belum mampu memberi pendapatan yang layak untuk penghidupan dan mengimbangi inflasi yang terjadi tiap tahun.
Salah satu faktor penyebab kemiskinan pada petani adalah ketiadaan aset, termasuk lahan pertanian[8]. Ketika lahan pertanian dianggap sudah tidak produktif, atau usaha pertanian tidak lagi memberikan keuntungan, petani biasanya memilih untuk beralih ke komoditas lain. Selain itu, di sejumlah desa masih berlaku sistem bagi waris, dimana orang tua kelak membagi lahan pertanian yang dimilikinya kepada masing-masing anaknya. Akibatnya lahan pengelolaan per keluarga semakin sempit.
Minimnya infrastruktur di sejumlah desa dan lokasi desa yang umumnya sulit dijangkau juga menjadi faktor rendahnya pendapatan petani, seperti yang terjadi pada desa-desa penghasil teh. Kondisi geografis yang sulit membuat petani teh sangat bergantung pada agen atau tengkulak untuk menjualkan hasil pertaniannya. Alhasil, petani tidak memiliki akses cukup baik terhadap pasar-pasar atau pembeli alternatif, dan tidak berdaya menawar harga yang ditetapkan oleh agen atau tengkulak.
Meski dihadapkan pada rendahnya pendapatan dari pertanian, profesi petani dulu dianggap paling realistis oleh penduduk desa, karena tidak banyak pekerjaan yang bisa mereka lakukan di desa. Desa selalu dibanggakan dengan kekayaan alamnya. Namun infrastruktur yang minimalis, membuat industri atau usaha berskala besar harus berpikir dua kali untuk mengembangkan usahanya di desa. Apalagi separuh angkatan kerja di pedesaan hanya mengenyam pendidikan dasar atau bahkan lebih rendah. Rendahnya tingkat pendidikan menyebabkan masyarakat desa sulit memasuki pasar kerja formal.
Membiarkan penduduk desa tanpa pilihan untuk meningkatkan pendapatan, akan memperparah isu sosial dan lingkungan, tidak hanya di desa, tapi juga di kota. Bappenas memproyeksikan bahwa urbanisasi akan terus meningkat[9]. Demografi desa semakin tua, dan makin sulit beradaptasi menghadapi era digital ini. Kemiskinan akan terus bercokol di desa, sementara di kota, masalah limbah, hunian, dan pengangguran akan meningkat.
Perempuan desa rentan kemiskinan
Perempuan merupakan kelompok yang sangat berisiko menerima dampak negatif kemiskinan. Baru sekitar 67% rumah tangga termiskin yang memiliki akses terhadap sanitasi layak[10]. Padahal perempuan membutuhkan air lebih banyak daripada laki-laki untuk menjaga kesehatannya[11]. Terbatasnya akses terhadap sanitasi dan air bersih menyebabkan perempuan rentan terhadap berbagai masalah kesehatan.
Selain itu, rendahnya pendapatan merupakan salah satu penyebab rendahnya asupan gizi keluarga[12]. Asupan gizi pada perempuan, khususnya ibu hamil, erat kaitannya pada keselamatan ibu melahirkan dan janin, serta prevalensi stunting[13].
Meski mengalami banyak dampak negatif dari kemiskinan, mayoritas perempuan desa belum berdaya untuk mengangkat dirinya sendiri keluar dari kemiskinan. Terutama di wilayah-wilayah yang masih kuat menganut budaya patriarki, perempuan dianggap sebagai masyarakat kelas dua. Perempuan diharapkan lebih banyak tinggal di rumah dan mengurus rumah tangga, dan laki-laki mencari nafkah. Ironisnya tidak sedikit perempuan yang masih menganggap ketidaksetaraan gender ini sebagai takdir, sesuatu yang lumrah dan sepatutnya.
Di keluarga-keluarga miskin, pembatasan kesempatan bagi perempuan makin terasa. Ada anggapan bahwa anak perempuan adalah beban, dan menikahkan mereka adalah cara untuk mengurangi beban keluarga. Menyekolahkan anak perempuan juga dianggap sia-sia karena pada akhirnya perempuan dianggap hanya akan mengurus rumah tangga. Orang tua dari keluarga miskin memilih untuk menyekolahkan anak laki-laki dengan harapan akan meningkatkan kesejahteraan keluarga. Perempuan desa menempuh pendidikan formal rata-rata hanya selama 7,16 tahun; 2 tahun lebih singkat daripada perempuan di kota[14].
Rendahnya pendidikan dan kurangnya pengalaman menjadi tantangan perempuan desa untuk bekerja. Padahal, ada kondisi dimana mereka harus siap sewaktu-waktu harus mengambil alih peran sebagai pencari nafkah utama, misalnya ketika kepala keluarga – yang biasanya adalah laki-laki – jatuh sakit atau tidak lagi bisa bekerja, atau ketika kebutuhan bertambah dan pendapatan keluarga tidak lagi mencukupi.
Memberdayakan perempuan untuk mengurangi kemiskinan
Ketidakmampuan perempuan untuk berpartisipasi secara aktif dan setara dalam perekonomian, memperbesar beban yang harus ditanggung oleh penduduk yang produktif. Kondisi ini bisa menghambat kemajuan desa, dan memperparah siklus kemiskinan desa. Mendukung perempuan untuk memperoleh akses terhadap pendapatan yang layak, sehingga mampu memperbaiki kondisi kehidupan mereka, merupakan upaya penting untuk memenuhi hak-hak perempuan, sembari mengurangi kemiskinan.
Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan memperkenalkan sumber penghasilan alternatif yang sesuai dengan kondisi dan kapasitas mayoritas perempuan desa saat ini, seperti sistem micropreneur yang dilakukan oleh Teh nDeso. Sistem micropreneur Teh nDeso tidak menuntut target atau jam kerja yang kaku, sehingga bisa dilakukan oleh siapapun.
Teh nDeso adalah sebuah brand teh yang mengambil bahan bakunya dari perkebunan rakyat. Sebagai usaha yang bergerak di sektor teh, Teh nDeso memandang perempuan sebagai sosok vital dalam mewujudkan visinya. Sebagian besar pemetik teh rakyat adalah perempuan. Tidak hanya di hulu, perempuan juga terlibat dalam berbagai kegiatan di hilir, seperti pengolahan, pengepakan dan distribusi teh.
[1] https://www.sdg2030indonesia.org/page/9-tujuan-satu
[2] https://ppid.kemendesa.go.id/berita/detail/472
[3] https://tnp2k.go.id/acceleration-policies/pengurangan-kemiskinan-ekstrem-di-7-provinsi-dan-35-kabupaten-prioritas-tahun-2021
[4] BPS. Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi Juli 2022
[5] BPS. 2021. Penghitungan dan Analisis Kemiskinan Makro Indonesia
[6] Bappenas. Ringkasan Eksekutif Visi Indonesia 2045
[7] BPS. Indikator Pasar Tenaga Kerja Indonesia Februari 2022
[8] Bappenas. Ringkasan Eksekutif Visi Indonesia 2045
[9] Bappenas. Ringkasan Eksekutif Visi Indonesia 2045
[10] https://www.bps.go.id/indikator/indikator/view_data/0000/data/1272/sdgs_6/1
[11] https://nationalgeographic.grid.id/read/13294004/wanita-butuh-konsumsi-air-lebih-banyak-dari-pria
[12] https://www.bps.go.id/indicator/5/1320/1/proporsi-penduduk-dengan-asupan-kalori-minimum-di-bawah-1400-kkal-kapita-hari-menurut-kelompok-pengeluaran.html
[13] https://www.kemenkopmk.go.id/menko-pmk-penanganan-kemiskinan-kunci-penurunan-stunting
[14] Kemenppa. Profil Perempuan Indonesia 2020