Teh sebagai salah satu komoditas potensial nasional perlu mendapatkan perhatian lebih dari berbagai pemangku kepentingan. Upaya pembenahan dari hulu hingga hilir perlu diintensifkan agar industrinya bisa bergairah kembali dan menjadi komoditas unggulan penghasil devisa. Produksi teh dalam negeri beberapa tahun terakhir cenderung melandai karena pengurangan areal perkebunan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, produksi daun teh kering dalam negeri bergerak fluktuatif dalam 5 tahun terakhir.
Produksi terti nggi daun teh kering sebanyak 154.369 ton yang terjadi pada 2014. Setelah itu, produksi teh di dalam negeri hanya berkutat pada kisaran 130.000—140.000. Bahkan, produksinya hanya sekali menyentuh angka 140.000 ton, yakni pada 2017.
Berbeda dengan produksi dalam negeri yang masih bergerak fluktuatif, luas areal perkebunan teh di dalam negeri secara pasti terus mengalami penurunan dalam 5 tahun terakhir. Tercatat, luas perkebunan areal teh pada 2014 yang mencapai 118.899 hektare (ha), turun menjadi 104.420 ha pada 2018.
Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Abdul Rochim menjelaskan, berkurangnya luas areal perkebunan teh di dalam negeri dalam 5 tahun terakhir terjadi lantaran para pekebun kurang termoti vasi, karena terdapat Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Produk Primer untuk teh. Menurutnya, usulan pembebasan PPN Produk Primer untuk teh diharapkan dapat disetujui sebagai bagian untuk terus meningkatkan teh dalam negeri. “Bersama komoditas lain seperti kakao, usulan pembebasan PPN Produk Primer teh telah disampaikan melalui Kementerian Koordinator bidang Perekonomian,” ujarnya.
Insentif tersebut diharapkan menggairahkan kembali industri teh nasional karena permintaan teh dan harga teh dunia selalu naik setiap tahun pada arah yang beragam. Namun, hanya teh Indonesia yang harganya terus mengalami penurunan. “Ini yang sangat menyedihkan,” ungkapnya. Kondisi itu, lanjutnya, perlu disikapi dengan langkah awal berupa penghentian konversilahan teh produktif di zona I agroklimat teh. Kemudian, menggantikan lahan yang sudah dikonversi menggunakan lahan hutan yang kosong.
Dia menjelaskan, konsepnya badan usaha milik rakyat (BUMR) yang mengorganisasikan teh rakyat dalam sebuah insti tusi bisnis formal, untuk bermitra dengan Perkebunan Besar Swasta (PBS) atau Perkebunan Besar Negara (PBN). Selain itu, perlu diberikan fasilitas untuk menembus pasar ekspor seperti pameran di dalam dan luar negeri. Saat ini, pemerintah menyiapkan sejumlah langkah terkait industri teh di dalam negeri seperti gerakan konsumsi teh nasional, dan insenti f fiskal lainnya yang dapat menggairahkan industri ini—terutama di paling hulu.
Peluang peningkatan ekspor teh Indonesia dinilai masih tetap tinggi, terutama ke negara-negara andalan seperti Malaysia, Rusia, Jerman, Amerika Serikat, Pakistan, dan sebagainya.
Dia meyakini ekspor teh akan berpeluang naik jika kualitas produksi teh di dalam negeri – terutama dari PBN pulih seperti sebelumnya. Pemerintah menargetkan ekspor teh dalam negeri mengalami peningkatan sebesar 10% pada tahun ini. “Utamanya untuk pasar baru di Eropa Timur dan emerging market di kawasan Timur Tengah dan China.”
PENURUNAN PRODUKSI
Sementara itu, Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan) Kasdi Subagyo menunjukkan data bahwa produksi teh di dalam negeri sepanjang 2019 tercatat lebih rendah dibandingkan dengan 2018. Sepanjang 2019, jumlah produksi teh di dalam negeri mencapai 137.902 ton atau lebih rendah 1,74% dibandingkan dengan produksi sepanjang 2018 yang mencapai 140.236 ton.
Seluruh produksi, baik perkebunan rakyat, perkebunan besar negara, maupun perkebunan besar swasta menunjukkan penurunan sepanjang 2019. Penurunan terbesar terjadi pada kelompok perkebunan besar swasta yang mencapai 2,54% menjadi 34.560 ton.
Sumber: https://kemenperin.go.id/artikel/21499/Menggairahkan-Kembali-Industri-Teh-Nasional